Awal Berdirinya Dinasti Qing
Dinasti Qing merupakan dinasti yang didirikan bukan oleh etnis Han, yang merupakan populasi mayoritas Cina, melainkan oleh orang-orang semi-menetap yang dikenal sebagai Jurchen (sebutan sebelum diubah menjadi Manchu), sebuah masyarakat Tungusik yang berdiam di wilayah Manchuria (sekarang Cina bagian utara).
Dinasti ini berdiri atas upaya Nurhachi dari klan Aisin Gioro yang menyatukan klan-klan suku Jurchen dan mendirikan dinasti Jin akhir (letaknya kini adalah di timur laut Cina) pada tahun 1609. Kemudian, sepeninggal Nurhachi, pada tahun 1636 putra Nurhachi yang bernama Huang Tai Ji meneruskan tahta kerajaan serta mengganti nama kerajaannya dari ‘Jin’ menjadi ‘Qing’, dan memulai peperangan untuk memusnahkan dinasti Ming.
Pada masa pemerintahaan Kaisar Sun Zhi, pemerintah dinasti Qing melakukan pembasmian terhadap tentara Li Zicheng dan sisa-sisa kekuatan militer Dinasti Ming. Untuk itu membasmi Li Zicheng dan pasukannya, bangsa Manchu yang dipimpin pangeran Dorgon bekerja sama dengan Wu Sangui. Kesempatan ini diambil oleh para pasukan dinasti Qing untuk mengambil alih Beijing dan bergerak ke selatan. Jenderal Wu Sangui membuka gerbang tembok besar dan Pasukan Delapan Bendera dinasti Qing berhasil merebut Beijing dari Li Zicheng.
Lalu pada tahun 1644, pangeran Dorgon menyatakan bahwa dinasti Qing dengan kaisarnya Shun Zhi menjadi pewaris yang mendapat Mandat dari Langit untuk menegakkan dinasti Qing sebagai penguasa Cina. Dengan bantuan jenderal-jenderal dinasti Ming yang membelot ke dinasti Qing, bangsa Manchu bergerak ke selatan menghabisi sisa-sisa dinasti Ming (dinasti Ming selatan).
Kaisar-Kaisar yang Terkenal pada Masa Dinasti Qing
Kaisar Kangxi (Xuanye) (memerintah tahun 1662-1722)
Setelah Kaisar Shun Zhi wafat pada tahun 1662, putranya Xuanye naik tahta menjadi Kaisar Qing Sheng Zu (Kaisar Kangxi). Kaisar Kangxi secara luas diakui sebagai salah satu kaisar terbesar dalam sejarah Kekaisaran Cina karena dia berhasil menyempurnakan penaklukan militer Cina. Selama masa pemerintahannya, Cina berkembang pesat dalam kebudayaan maupun militer, rakyat pun hidup dalam kedamaian.
Kaisar Kangxi dianggap sebagai salah satu teladan penguasa yang ideal. Dia berusaha keras meminimalkan konflik antara etnis Han dan Manchu yang merupakan isu utama pada masa-masa awal dinasti Qing. Minimalisasi konflik antara etnis Han dan Manchu akan sangat berguna untuk memperlancar urusan-urusan administratif, caranya adalah dengan mempelajari sejarah dan budaya Han Cina. Dia mempekerjakan banyak orang Han dalam berbagai tingkat jabatan.
Adapun beberapa prestasi yang diraih oleh Kaisar Kangxi, yakni pada musim semi 1662, Kangxi mengadakan pembersihan besar-besaran di Cina selatan terhadap gerakan-gerakan separatis anti-Qing yang dimotori oleh loyalis Ming, Zheng Chenggong. Selain itu, pada tahun 1683, Kaisar Kangxi berhasil merebut pulau Taiwan dari sisa pasukan yang setia kepada dinasti Ming.
Yongzheng adalah tipe pemimpin yang bekerja keras, target utamanya adalah menciptakan pemerintahan yang efektif, jujur dengan pengeluaran serendah mungkin. Selama masa pemerintahannya, Yongzheng meneruskan kedamaian dan masa sejahtera dinasti Qing yang telah tercipta pada masa ayahnya, Kangxi. Upayanya yaitu dengan memberantas korupsi dan foya-foya serta memperbaiki catatan finansial kerajaan. Ada beberapa kebijakan Kaisar Yongzheng yang menguntungkan bagi perkembangan dinasti Qing selama dia memerintah, di antaranya yaitu:
- Membentuk kabinet militer "Junji Chu" dan memperlemah kekuatan para pangeran untuk meningkatkan kekuatan pusat.
- Memperbaiki hukum pajak dengan cara memungut pajak berdasarkan luas tanah.
- Mengirim pejabat handal ke daerah yang tertinggal.
- Memperkuat pengawasan atas semua aspek pemerintahan.
Kaisar Qianlong (Hongli) (1735–1796)
Kaisar Qianlong juga merupakan kaisar yang bijak dan terkenal dalam sejarah Cina. Pada masa pertengahan berkuasanya, tentara dinasti Qing menaklukkan kekuatan-kekuatan separatis di Xinjiang, Cina Barat Laut dan berhasil menyatukan daerah tersebut. Sementara itu, pemerintah dinasti Qing mengambil serentetan kebijakan untuk mengembangkan ekonomi, kebudayaan dan hubungan lalu lintas di daerah perbatasan.
Dalam masa pemerintahan Kaisar Qianlong yang berlangsung selama 60 tahun, dinasti Qing makin kuat dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong (dan juga Kaisar Kangxi), dinasti Qing menikmati kestabilan politik, rakyat hidup makmur dan sejahtera sehingga masa itu disebut dengan “Kang Qian Sheng Shi”, yaitu masa kejayaan Kaisar Kangxi dan Kaisar Qianlong.
Akhir Dinasti Qing
Perang Candu
Pada masa Kaisar Daoguang (1821-1850), terjadi peristiwa Perang Candu. Latar belakang perang ini adalah semenjak kegagalan kunjungan Macartney dilakukanlah perdagangan segitiga. Pembelian sutera dan teh oleh Inggris dari Cina dibayar dengan opium yang berasal dari India. Oleh karena masuknya candu ke Cina ini, maka menyebabkan makin berlipat gandanya pecandu yang memaksa Cina harus mengimpor candu dari pihak Inggris, di mana selama kurun waktu 40 tahun, impor candu telah membengkak dari 1000 kotak menjadi 40.000 kotak. Makin meningkatnya pecandu opium ini melemahkan negara dengan dua cara, yakni melemahnya sumber daya manusia serta mengalirnya kekayaan negara ke Barat.
Menimbang makin meningkatnya pecandu opium yang pada tahun 1830-an sudah mencapai 10 juta jiwa, maka Kaisar Daoguang memutuskan untuk mengeluarkan surat perintah pada Lin Zexu (1785-1850) untuk menekan perdagangan candu tersebut. Sebagai pelaksanaan titah kaisar tersebut Lin menyita dan membakar candu milik Inggris. Ada beberapa hal yang jarang disebutkan oleh para penulis Barat, sesungguhnya candu tersebut bukan hanya sekedar disita, tapi Cina bersedia memberi ganti rugi berupa uang perak 10 tael serta teh 1 bal untuk setiap peti candu. Lin juga sebelumnya telah menulis surat ke Ratu Inggris dan memohon untuk menghentikan kegiatan perdagangan candu via EIC (East India Company) sebelum mengambil tindakan tegas. Pihak Inggris marah dan menyatakan perang kepada Cina sehingga meletuslah Perang Candu (1840-1842). Perang ini diakhiri dengan kekalahan Cina, karena persenjataan Barat yang lebih canggih serta makin melemahnya kekuatan dinasti Qing sendiri.
Pemberontakan Taiping (1856)
Pada masa selanjutnya kita dapat melihat bahwa kekuatan Barat makin leluasa menguasai Cina secara perlahan-lahan. Pemberontakan yang terjadi di mana-mana juga makin memperlemah dinasti Qing. Pemberontakan Taiping (1850-1864) merupakan pukulan besar bagi dinasti Qing, yang terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Xianfeng (1851-1861). Pemimpinnya adalah Hong Xiuquan, seseorang yang terpengaruh oleh agama Kristen. Pada mulanya bangsa Barat bersimpati pada pemberontakan ini, namun setelah mengetahui bahwa Hong mempunyai doktrin yang agak “miring”, dengan menyatakan diri sebagai adik Yesus Kristus, maka bangsa Barat pun berbalik mendukung dinasti Qing. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan dengan bantuan Barat sehingga menunjukkan makin bergantungnya Cina pada Barat.
Revolusi Xinhai
Adanya sentimen anti-Manchu yang berkembang subur ditambah juga sudah bobroknya pemerintahan dinasti Qing yang korup, berdampak pada munculnya Revolusi Xinhai yang dimulai dengan Pemberontakan Wuchang pada 10 Oktober 1911. Dinasti Qing makin lemah dengan berdirinya Republik Cina di selatan dengan Nanjing sebagai ibukota dan Sun Yat Sen sebagai kepala sementara. Sejak saat itu berbagai provinsi di selatan menyatakan lepas dari dinasti Qing untuk bergabung dengan republik.
Pada tahun 1912, Yuan Shikai memaksa Ibu Suri Longyu (janda kaisar Guangxu) untuk menurunkan maklumat turun tahtanya kaisar Xuantong / Puyi (1909-1911). Pihak republik berjanji untuk membiarkan kaisar Puyi tetap menempati sebagian Kota Terlarang dan mempertahankan gelar Kaisar, walaupun hanya akan dihormati seperti layaknya kaisar negara asing. Dinasti Qing pun berakhir pada 12 Februari 1912. Cina menjadi negara republik. Dengan demikian, runtuhlah sistem dinasti yang telah berlangsung dari dinasti Xia hingga Puyi, kaisar terakhir Cina.
0 komentar:
Posting Komentar