Dari semua perang yang telah
dilakukan orang, tak satupun dijalankan dengan lebih fanatik daripada
Perang Salib (perang agama). Dan diantara perang suci ini Islam di Asia,
yang sejak tahun 632 merupakan pihak penyerang, bukan saja di Syiria
dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Dilihat dari sudut
lain maka faktor yang turut menimbulkan Perang Salib itu adalah
keinginan mengembara dan bakat kemiliteran pihak Teutonia yang telah
mengubah peta Eropa sejak merka memasuki lembaran sejarah. Kemudian
penghancuran gereja suci yaitu sebuah gereja yang didirikan tempat
dimana Yesus pernah dikubur sebelum mengalami masa kebangkitan kembali
dari kuburnya, yang dilakukan oleh seorang khalifah Fatimiah dalam tahun
1009, padahal gereja itu merupakan tujuan dari beribu-beribu jemaat
Kristen dari Eropa untuk mengadakan ziarah (Philip K. Hitti, 1979:209).
Adapun sebab utamanya adalah karena orang-orang nomad Turki Seljuk yang
berasal dari Turkestan (Asia Tengah) telah diusir oleh orang-orang
Persia yang menduduki daerah milik orang-orang Turki Seljuk, bahkan Asia
Minor termasuk yang mereka duduki.
Peristiwa
itu sangat mengganggu ketentraman para peziarah yang akan datang ke
Yerusalem karena orang-orang Turki Seljuk yang menguasai daerah itu
sangat kasar (Sudarsono, 1978:6). Selain itu juga karena permintaan
Kaisar Alexius Comneus dalam tahun 1095 kepada Paus Urbanus II. Kaisar
Byzantium tersebut meminta bantuan dari Romawi karena daerah-daerahnya
yang terdesak sampai ke pesisir Laut marmora ditindasbinasakan oleh Bani
Seljuk. Bahkan Konstantinopel diancam oleh bani Seljuk (Phillip K.
Hitti, 1970:209). Di lain pihak Paus urbanus II juga ingin mengambil
kesempatan. Dia kemudian mendatangkan dewan Kebangsawanan Perancis dan
Alim Ulama di Clermont dan mengajak mereka dengan suatu pidato yang
bersemangat untuk berperang melawan orang Turki. Ketika ia menyelesaikan
pidatonya para hadirin dilaporkan berteriak bersama ini kehendak Tuhan.
(Edward Mc Nall Burn, 1958 :342). Sehingga boleh dikatakan bahwa
keiginan kaisar Alexius yang menghendaki kembalinya daerah kekuasaannya
yang telah oleh orang-orang Islam dengan Paus Urbanus II yang
berkeinginan untuk menyatukan kembali umat Kristen Barat dengan Timur
yang sempat mengalami perpecahan, bagaikanngayung bersambut. Sehingga
musim semi berikutnya 150.000 orang, sebagian besar orang Perancis dan
Norman, memenuhi panggilan tersebut dan berkumpul di Konstantinopel dan
inilah awal Perang Salib
Latar Belakang perang salib
Ada
berbagai alasan yang menyebabkan orang-orang Barat kemudian bersepakat
mengangkat salib dan berangkat perang tanah suci. Beberapa pemimpin dari
jemaah salib itu, diantaranya Bohemund, turut perang Salib oleh
dorongan nafsu untuk memperkaya diri sendiri. Pedagang-pedagang dari
Pisa, Genoa, Venesia naluri perdagangannya melihat adanya
kepentingan-kepentingan perdagangan dalam peperangan itu. Orang-orang
yang berbakat romantis, orang-orang yang suka berkelana dan suka
bertualang yang menggabungkan diri dengan orang-orang beriman itu
mempunyai tujuan hidup yang baru. Banyak pula orang-orang yang mempunyai
dosa besar yang beranggapan, turut berperang sebagai penebus
dosa-dosanya. Sedangkan mayoritas rakyat Perancis, Ltharingen, Italia
dan Sisilia yang perekonomian dan kehidupan sosialnya jelek turut
berperang adalah lebih merupakan hiburan daripada suatu pengorbanan
(Phillip K. Hitti, 1970:210). Sehingga bisa dikatakan bahwa motivasi
keikutsertaan orang-orang Eropa Kristen untuk perang jihad bukan
semata-mata faktor keimanan, melainkan berbagai faktor. Tetapi yang
jelas dalam Perang Salib ini, semangat para musyafir Kristen tampak
sangat menonjol. Ini antara kelihatan pada saat para Biarawan Cluny.
Timbul keinginan untuk berziarah kemana-mana, ke segala arah. Bagi
mereka berziarah ke Palestina ini dan beribadah di tempat-tempat yang
menjadi saksi kehidupan Kristus mempunyai impian sendiri.
Jalannya Perang Salib
Pidato
Paus Urbanus II cukup menggelorakan massa. Tuhan menghendakinya teriak
mereka. Banyak kemudian maju ke depan mengambil Salib, sebagai sumapah
untuk maju ke medan perang Salib. mereka kemudian pulang dengan semangat
yang menyala-nyala untuk menyelamatakan kembali makam kudus.
Perang
Salib I (1096-1099) cukup membawa hasil, karena dapat merebut kembali
tanah Plestina, dan kemudian menegakkan kembali empat negeri Kristen,
yakni Yerusalem, Antioch, Edessa, dan Tripoli. Para bangsawan dari
Perancis, Inggris dan daerah-daerah lain yang memeng suka berpetualang,
tak ketinggalan juga berangkat ke Palestina guna mendorong semangat para
kerabat dan sahabat mereka yang telah lebih dahulu berada disana.
Bahkan ada beberapa yang tidak pulang, karena tanah pusaka di Eropa
hanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua, sesuai dengan hukum waris
yang ada. Maka anak-anak yang lebih muda berhasrat kuat untuk pergi.
Dengan meninggalkan tanah kelahiran, mereka berharap dapat menemukan
kesempatan baru di tanah Palestina, yang oleh Nabi Musa dilukiskan
sebagai tanah yang berlimpah dengan susu dan madu.
Pada
tahun 1144 Edessa berhasil dikuasai kembali oleh orang-orang Turki,
sehingga orang-orang Kristen yang telah menetap disana tidak sanggup
lagi bertahan. Hal ini bukannya melemahakn, tetapi malah meningkatkan
kaum Kristen untuk menyusun upaya baru guna merebut kembali
tempat-tempat suci. Raja Jerman, Conrad III, dan Raja Perancis, Louis
VIII, bersama-sama menghimpun dan mengerahkan tentara untuk melancarkan
Perang Salib II (1147-1149). Namun pengorganisasian kekuatan itu
sedemikian buruknya sehingga tak membuahkan hasil apapun. Bhakan
akhirnya, Sultan Saladin mampu menguasai kembali Yerusalem dan Acre, pos
utama tentara Kristen.
Kegagalan
diatas membangkitkan gelombang protes. Lalu kaisar Frederick Barbarossa
dari Jerman, raja Phillip Augustus dari Perancis dan Raja Richard I
dari Inggris menyusun kembali tentara gabungan guna menggempur
Palestina. Namun, karena ketiga raja ini saling iri hati, Perang Salib
III (1189-1192) inipun gagal.
Para
pengikut Perang Salib diorganisasikan sesuai dengan pola feodalisme di
Eropa Barat. Pada pucuk pimpinan kerajaan terdapat seorang raja feodal.
Di bawahnya adalah para vassal, kemudian para bawahan vassal. Kerajaan
dibagi dalam beberapa manorial, yang digarap oleh penduduk setempat,
yang berstatus sebagai setengah budak. Para tuan tanah bertanggung jawab
atas penduduk wilayah manorialnya, dan tunduk pada raja.
Di
Palestina kaum Kristen dan muslim hidup berdampingan, dan secara
bertahap belajar untuk saling menghormati. kebencian lama terhadap kaum
muslim, yang sering diperlihatkan oleh para pendatng baru mulai pudar,
ketika kaum Kristen sadar akan keunggulan budaya dan kebajikan
orang-orang Saracen.
Secara
bertahap para saudagar dan bangsawan Kristen menjadi makmur dan
toleran. Bahkan beberapa diantara mereka sejak semula sudah mulai
mengadopsi adat dan tata cara Timur yang lebih baik. Kebiasaan dan
selera akan hal-hal yang mewah dan menyenangkan berkembang. Kebiasaan
mandi dan mencukur jenggot menjadi hal yang lazim. Orang-orang Eropa
mulai mengenali jenis buah-buahan dan sayuranbaru, dan mengabarkan
hal-hal yang baru kepada para sahabt dan kerabat mereka di Barat. Dalam
hal ini perang Salib merupakan sarana bagi persebaran kebudayaan Arab ke
Eropa Barat (Henry s. Lucas, 1993:120)
0 komentar:
Posting Komentar